Pada setiap amuk yang terbendung kita tetaskan;
Segala pecah bayang terburai
Segala serpih berserak sandar
Serta suluh yang meluruh.

Jalan keluar hanya nampak bagai harap;
Sementara kita terus terjebak dalam sesak
dan redam yang meluka.
Aku tumbuh dengan kehadiran ayah yang cenderung temperamental. Tak seperti bom waktu, picunya tak perlukan tentu. Serupa bom rakitan, tak perlu terlalu dekat untuk tetap dapat mendera serpih. Berulang kali aku berharap tak akan jadi sosok sepertinya. Kemarahan bagiku terasa begitu sia-sia; ia tak selesaikan satupun masalah. Karenanya, aku terus berupaya menekan perasaan tersebut.

Sebaik mungkin aku berupaya, nyatanya tidak mungkin aku dapat lari dari kemarahan yang menerpa. Meski tak letup, ia tetap meradang-menanah.  Meski tak ledak, terjangnya tetap merejang dalam. Meski tak rekah, hentaknya tetap menapak retak.

Jebakan ini terasa seperti perang yang takkan bisa dimenangkan. Setiap pendam yang ku telan, ia berujung serupa dengan butir paku yang aku selipkan di antara mesiu dalam botol-botol kaca. Saat picu tersulut, ledaknya menyebar ke segala penjuru; melukai dalam diriku hingga melesap pada mereka yang berada terlalu dekat. Di balik segala upaya yang terus aku perjuangkan, tanpa sadar aku malah menjadi sosok yang tak aku inginkan.

Berhadapan dengan lingkaran buntu, aku berupaya memahami keberadaan ‘hak untuk marah’  sebagai jungkat dari jerat ini. Jelas perasaan itu ada bukan sebagai kesia-siaan. Kali ini, aku biarkan kemarahan tumbuh dan membesar; mengizinkan diriku untuk melihat lebih dekat segala yang ia lahap.

Serupa api, kemarahan merupakan alat. Ia adalah kobar bagi mereka yang terancam menjadi buruan. Ia adalah ledak yang meletupkan tekanan agar mesin dapat berotasi. Panasnya menjadikan ramu masak sekaligus hangus; cairkan setiap diri yang membeku. Serupa api, ia adalah pesan dari mereka yang terinjak dan inginkan perubahan.

Kemarahan adalah senjata bagi mereka yang paham cara mengendalikan segala riuhnya. Tak berbeda dengan menjinakkan hewan buas; dalam benak kita sadari betul bahwa tanpa kekang dan kokang, kita tak berdaya di hadapannya. Ancaman atas kobarnya tak dapat dihindari. Meski telah merasa mampu mengendalikannya, perih-lepuh tetaplah nyata terasa. Kita hanya dapat membiarkan ia melahap sumbu selagi kita berupaya menebar padam pada runtut yang tak diinginkan.

Tak ingin terus lari, kini aku sambut segala geram dan murka sebagai tempa yang harus di jajaki. Aku nikmati segala sesak dan resah yang menjebakku; menyandarkan aku pada serpih yang tak mungkin sempurna terangkai kembali. Aku biarkan dengkung berkelindan dalam parau yang iringi deram temaram. Tak lagi ku halau pandangku yang memerah barah. Biar aku nikmati semua ini tanpa perlu kembali gusar atas jalan mana yang harus ku tempuh untuk keluar dari jerat ini.

Karenanya, aku abadikan sejumput impresi atas kemarahan ini dalam In Ire; sebuah ruang yang mengkristalkan jejak-jejak api yang menghantam lubuk diri. 

IN IRE
Published:

Owner

IN IRE

Published: